99 Cahaya di Langit Eropa

Judul Buku      : 99 Cahaya di Langit Eropa : Menapak Jejak Islam di Eropa

Penulis             : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Halaman          : 424

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Genre              : Non Fiksi, Novel Perjalanan, Novel Sejarah Islam

Tanggal Terbit : 29 Juli 2011

Sinopsis

Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda.

Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam.

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya.

Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.

Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.

Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih.

Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan

Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.

Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.

Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.

Aku teringat kata sahabat Ali RA:

Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudra di mana banyak ciptaan ciptaan Nya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.(Ali bin Abi Thalib RA)

More information: www.hanumrais.com

Pidato Valedictorian Inaugurasi Doktor

11 Maret adalah hari yang ditunjuk Allah sebagai hari yang bersejarah untukku. Hari yang juga telah lama dinantikan oleh istriku dan kedua orangtuaku: promosi gelar doktor yang akhirnya aku terima setelah 3 tahun menuntut ilmu di Eropa. Bagi kedua orang tuaku, panjatan doa dalam setiap hembusan nafas mereka adalah harapan dan kepasrahan kepada-Nya agar studi anak sulungnya bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Tak jarang, dalam simpuh sujud salatnya, sebuah janji nazar mereka sampaikan untuk Tuhan demi anak laki-laki satu satunya. Dan akhirnya penantian panjang itu dijawab Allah pada 11 Maret 2011.

Membaca pidato inaugurasi gelar doktor. Awangku melayang ke sebuah memori 20 tahun yang lalu. Aku masih ingat wajah berseri kedua orang tuaku, sambil menggendong adikku Ica yang masih berusia 4 tahun, mereka mengantarkanku menuju aula SD. Sejurus kemudian, aku sudah berdiri dihadapan microphone kecil itu. Membaca pidato persembahan para siswa lulusan kelas 6 SD Jetis Harjo 2. Aku bisa menangkap kebanggaan bercampur keharuan terpancar dari wajah mereka, ketika bibir kecilku membaca baris demi baris kata yang tertulis dalam naskah pidato kelulusan hari itu.

“Teman teman, mari kita bungkukkan badan kita sejenak, untuk memberikan penghargaan kepada mama dan papa kita tercinta”

Tentu saat itu kedua orang tuaku tak pernah membayangkan, 20 tahun kemudian, bibir yang sama, kembali membacakan naskah pidato wisuda doktoral di negeri Eropa nan jauh disana.

11 Maret 2011. Aku mengenang kembali hari kelulusanku waktu SD. Tapi kali ini aku tak bisa membungkukkan badanku. Karena kedua orang tuaku, tak bisa hadir di ruangan wisuda. Mereka hanya bisa memejamkan mata, membayangkan dari ribuan mil jauhnya di tanah air, sambil tak hentinya mengucap syukur kepadaNya karena Allah telah menjawab semua do’a dan permintaan mereka. Aku bisa merasakan harapan mereka, karena di saat bersamaan kakiku juga bergetar dan sudut mata ini tak kuasa menahan tetesan air mata.

Dan entah kenapa, aku juga memutuskan memakai Batik ketika membaca pidato valedictorian hari itu; terlihat sangat tidak biasa bagi kebanyakan wisuda wisuda di Eropa. Ada kekuatan yang membisikkan hatiku, bahwa aku tak boleh lupa dengan identitas jati diriku, sebagai seorang muslim dan warga negara Indonesia. Dan entah mengapa juga aku memilih topik tentang toleransi dan keberagaman sebagai tema utama pidato inagurasi doktoralku. Mungkin karena akhir akhir ini aku sangat prihatin membaca berita berita konflik sosial yang tak berkesudahan di Indonesia.

11 Maret 1979. Kebetulan juga adalah hari yang sangat spesial untuk kedua orang tuaku. Jum’at itu, tepat 32 tahun sudah usia perkawinan mereka. Mudah mudahan kelulusanku bisa menjadi kado ulang tahun perkawinan yang berkesan untuk mereka berdua. Ayahanda Martono Muslam dan juga ibunda Henny Listiani, aku persembahkan 11 Maret untuk mu. Terimakasih atas semua do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak pernah putus.

Aku juga ingin mempersembahkan 11 Maret untuk semua orang yang masih mempercayai kekuatan do’a dan restu orang tua. Juga untuk orang orang yang masih mempercayai bahwa toleransi adalah anugerah bagi kemanusiaan, bahwa dunia ini akan lebih indah, jika dalam perbedaan, kita bisa hidup saling berdampingan.

——————————————————————————

Pidato Valedictorian Inaugurasi Gelar Doktor

Vienna University of Economics and Business (WU-Vienna)

Sebelumnya saya ingin minta maaf, karena kurang lancar berbahasa Jerman, ijikan saya membacakan pidato kelulusan ini dalam bahasa Inggris.

Terima kasih banyak. Suatu kehormatan besar bagi saya dapat berdiri dihadapan seluruh hadirin yang terhormat. Ijinkan saya juga ingin menyampaikan salam hangat kepada dewan rektor, seluruh profesor dan guru besar universitas WU Vienna, Yang mulia Duta Besar, seluruh tamu undangan, keluarga, teman, dan tentu saja untuk bintang acara pada siang hari ini: seluruh rekan rekan wisudawan bulan Maret 2011

Rekan-rekan wisudawan yang berbahagia.

Kita berkumpul pada siang hari ini untuk merayakan kelulusan dan keberhasilan kita dalam menempuh studi kita. Tapi sebelumnya, saya mengajak rekan rekan semua untuk menundukkan kepala sejenak dan mengucapkan terimakasih kepada pahlawan pahlawan tak terucap siang hari ini: keluarga kita. Orang tua, suami atau istri, adik atau kakak, mereka adalah orang orang yang selalu mempercayai kita. Orang yang selalu bersedia mendengarkan semua masalah, keluhan dan kesulitan kesulitan yang kita hadapi. Mereka adalah keluarga kita, yang cinta dan kasih sayangnya menjadi sumber kekuatan hidup bagi kita semua.

Saya percaya, bahwa hari ini bukan hanya milik kita. Hari ini adalah hari mereka juga…Mari kita semua memberikan tepuk tangan paling hangat untuk seluruh keluarga kita.

(Tepuk tangan)

Sayang sekali, kedua orang tua saya tidak bisa datang pada hari ini. Karena bagi saya sendiri, bisa hadir berada disini, jauh dari sekedar melakukan perjalanan 10.000 Km menyeberangi tiga samudra. Saya ingat 3,5 tahun yang lalu, ketika saya menginjakkan kaki pertama kali ke gedung ini, saya dihantui oleh kegelisahan dan ketidakpastian yang mendalam. Saya menyaksikan begitu banyak perbedaan di negeri ini. Bahasa yang berbeda, budaya dan makanan yang berbeda. Saya juga harus menghadapi banyak orang orang yang memiliki sistem nilai dan cara berpikir yang berbeda dengan yang saya miliki. Saya sempat tidak yakin, saya bisa bertahan 3 atau 4 tahun disini untuk menyelesaikan studi doktoral saya.

Tapi hari ini, saya harus berterimakasih pada seluruh karyawan dan staff fakultas di kampus ini yang tak kenal lelah membantu saya melewati proses yang sangat sulit ini. Terimakasih juga atas komitmen dewan rektor yang menjadikan kampus ini menjadi kampus global. Jumlah mahasiswa internasional, mitra dan dosen internasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Rasio dosen internasional telah mencapai 30 %, dan kini, lebih dari seperempat mahasiswa yang belajar dikampus ini berasal dari luar negeri.

Selama menempuh studi dikampus ini, saya juga menyaksikan sebuah transformasi besar kampus ini. Universitas ini telah berubah nama dari sebuah perguruan tinggi di Wina, Wirtschaftsuniversität Wien, berubah menjadi sebuah World-class University, disingkat W-U.

Jadi saya berpikir, bahwa kita disini tidak hanya untuk merayakan pencapaian gelar studi kita, tetapi yang lebih penting untuk merayakan sebuah contoh keberhasilan perguruan tinggi kelas dunia yang menjunjung tinggi semangat profesionalisme dan kesetaraan. Kita semua disini telah berhasil mematahkan perdebatan tak berujung, tentang ras, etnis, agama dan gender yang mendominasi politik dan berita media massa dalam dekade terakhir.

Saya datang dari sebuah negara bernama Indonesia. Saya dilahirkan di sebuah desa terpencil dimana tidak ada listrik dan air bersih. Lebih dari separuh orang di desa kami berpenghasilan kurang dari 1 euro per hari. Orang tua saya hanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil kelas menegah, yang tidak pernah sedikitpun berani bermimpi untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan biaya sendiri. Akhirnya Professor Wolfgang Obenaus yang meyakinkan saya untuk belajar di kampus terhormat ini, di jantung kota Eropa, dengan menggunakan beasiswa untuk negara negara dunia ketiga.

Saya juga senang bahwa hari ini saya diperbolehkan memakai Batik’, pakaian tradisional dari negara kami, karena saya sangat yakin bahwa panitia wisuda pasti akan menghargai perbedaan dan keberagaman. Karena mereka juga menjunjung tinggi nilai nilai universitas ini, bahwa faktor paling penting yang menentukan keberhasilan seseorang bukanlah warna kulit mereka, bukan agama mereka, bukan pula siapa orang tua mereka, atau berapa banyak uang yang mereka miliki.

Saya percaya akan janji dari sistem pendidikan di sini. Tidak peduli bagaimana rupa kita, darimana asal negara kita, atau apapun agama kita, setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mewujudkan impian-impiannya.

Rekan-rekan wisudawan yang sangat saya banggakan.

Saat ini kita hidup dalam era globalisasi. Ini adalah era di mana orang-orang di Wina juga harus bersaing dengan orang-orang dari Shanghai atau Mumbai, India. Kita semua bisa mencari pekerjaan di manapun di muka bumi ini. Pada akhirnya ketrampilan dan ilmu kita-lah yang menjadi paspor global kita, yang memungkinkan kita mampu menjelajah dunia. Satu satunya hal berharga yang bisa kita jual adalah ketrampilan dan ilmu kita.

Hidup dalam era globalisasi ini juga seharusnya membuat kita sadar, bahwa sejatinya kita juga bernafas di bawah atap rumah yang sama. Di rumah global ini, semua perbedaan atau keyakinan apapun bisa kita temukan. Perbedaan kecil yang sangat tidak signifikan dapat memicu konflik, bahkan peperangan. Tapi saya sangat yakin, tidak satupun di ruangan ini yang akan membiarkan ini untuk terjadi. Karena terlepas dari semua perbedaan yang kita miliki, kita semua memiliki harapan yang sama sebagai umat manusia. Kita semua memiliki keyakinan bahwa kita semua sebenarnya saling terhubung, terikat sebagai saudara atau saudari dari masa lalu.

Didorong oleh keyakinan ini juga, saya juga mengajak rekan rekan semua untuk menjadi agen perubahan yang tak kenal lelah berusaha membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih nyaman untuk di tinggali, tempat yang lebih aman bagi setiap perbedaan; sebagaimana yang ditunjukan oleh transformasi kampus ini.

Dalam beberapa minggu ini, saya akan pulang ke Indonesia. Saya seorang muslim, dan saya akan berbicara lantang kepada saudara-saudara di negara saya, bahwa di negara ini saya tidak hanya belajar tentang profesionalisme dan keberhasilan, tapi juga toleransi dan menghargai satu sama lain.

Cepat atau lambat Anda juga akan melakukan perjalanan Anda sendiri. Bagi sebagian, perjalanan Anda ke depan mungkin tidak akan mudah. Tidak ada satupun orang di ruangan ini yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Namun saya berani memastikan akan satu hal: masa depan bukanlah suatu keadaan yang akan kita temukan, tapi keadaan yang harus kita ciptakanbersama-sama.

Saya percaya bahwa kita mampu berhasil dimanapun didunia ini, karena kita semua sudah dilatih dalam lingkungan global, yang menjunjung tinggi semangat profesionalisme dan toleransi atas keberagaman.

Hari ini, kita semua bangga menerima ijazah atas studi kita, anugerah yang akan kita hargai sepanjang umur hidup kita.

Tapi ijinkan saya mengutip sebuah pepatah: anugerah paling berharga sejatinya bukanlah yang terlihat oleh mata, tapi ditemukan dalam hati kita. Ilmu dan kebahagiaan adalah anugerah bagi seorang manusia, dan sesungguhnya toleransi dan keberagaman adalah anugerah bagi kemanusiaan.

Suatu harapan yang tulus dari saya, bahwa perjalanan Anda selanjutnya akan membawa ke puncak harapan Anda, menuju langit tertinggi kebahagian Anda, dan juga untuk menjadi anugerah bagi kemanusiaan dan seluruh alam.

Sekali lagi selamat. Selamat melanjutkan perjalanan. Dan semoga Tuhan selalu menyertai langkah kita.

Terima kasih.

Vienna, 11 Maret 2011

Rangga Almahendra

———————————————————-

Terimakasih teman teman untuk dukungannya, sebagian dari Pidato ini bisa dilihat di sini: http://www.youtube.com/watch?v=i5OpdL3hcFE

Valedictorian Speech Doctoral Inauguration (English)

Thank you so much; it is really a tremendous honor for me to stand before you, all the distinguished ladies and gentlemen. Allow me to extend my warm greeting to the rector council, professors and all faculty members of WU, His excellency Indonesian ambassador to Austria, family, friends, guests, and of course the very reason of our presence today: the fellow doctoral graduates of March 2011.

Dear my fellow graduates,
I know we are here to celebrate our achievement for our doctoral degree, but let’s take a moment for a while to thank the unspoken heroes of today: our families, parents, husband or wife, brothers or sisters. These are the people who always believe in us, people who are willing to listen to all our problems, our complaints and difficulties. These people are our family whose love and care always encourage us in each and every day. I believe today is not only our own day. This day is theirs too…

So let’s give our warm applause to all of our families.
Unfortunately, my parents aren’t able to come here, as for myself, the journey for being here is much more than taking 10.000 kilometers flight across three great oceans. I remember 3.5 years ago, when I stepped in to this building, I was haunted with deep anxiety and uncertainty. I knew that I have to cope with different languages, different food, different people with different values and different way of thinking. At that time, I wasn’t sure if I could survive another 3 or 4 years to come to finish my PhD.

But today, I must appreciate the tireless effort from all employees and faculty members at WU who helped me throughout the difficult process. Thanks to the commitment from the rector council for increasing the internationality of this university. The number of international students, international partners, and international faculty members are increasing year by year. The ratio of the international faculty will reach to 30 %, and the number of international students has passed to a quarter, which means that every fourth student you meet here is from abroad.

During my study here, I also witness a great transformation of this university. This institution has transformed from a Viennese college of economic and business administration, Wirtschaftsuniversität Wien, into a World-class University, abbreviated as W-U.

So I think we are here today, not only to celebrate our achievement for winning a PhD, but also to sustain an example of the possible success of world class school which holds the spirit of professionalism and equality. Here, we’re showing to break free the tiring debate about race, religion, ethnicity and gender that dominates our politics and newspaper in the last decade.
I’m coming from a third world country called Indonesia. I was born in a very small village, which was no electricity and running clean water; more than half of the people in the village earn less than 1 euro per day. My parents are only medium class civil servants, who never even dared to dream sending their son to study abroad. It’s finally Professor Wolfgang Obenaus who convinced me to come to this prestigious university, in the heart of Europe, using the scholarship from the Austrian government for third world countries.

I am also glad that finally I am allowed to wear ‘Batik’, our traditional clothes today, as I always believe that the graduation committee will embrace diversity. Because they also hold the value of our university, that the single most important factor determining people achievement is not the color of their skin, the religion of their life, it is not who their parents are, or how much money they have. I believe the promise of the education system here. No matter how we look like, whatever our nationality is, or our religion, each of us, should have the chance to achieve our dream, to enjoy the same opportunity.

Dear fellow graduates,
We know that we’re living in a global era. It’s the time where people in Vienna are also competing with people in Shanghai or Mumbai, India. Jobs can be located anywhere in this planet. It’s finally our skill and knowledge that become our global passport. The most valuable things you can sell are skill and knowledge.

Living in this globalization era should make us aware that we are breathing in the same global village. In this village, every belief and value can be found. Insignificant differences can spark into conflict, chaos even war. But I’m sure that everybody in this room won’t let this happen. Because, despite these differences, we share the same hope, same belief that we are connected together as brother and sister from the past.

Driven by this belief, I am also calling on you to be an agent of transformation, who always seeks to make this world a better place to live, a safer place for diversity; as being shown by the great transformation of this university.
Within these few weeks I am flying back to Indonesia…

I’m a Moslem and I will speak loud and clear to the people in my country that I am proud to be part of this great European education institution; where I do not learn about business and economics only, but also about tolerance and respecting each other.

Sooner or later you will also make your own journey. For some of you, the journey ahead will not be easy. But the truth is that none of us knows how the future will look like. What I can tell you for sure is that the future is not someplace we will discover, but rather something we will create.

I believe that we can survive anywhere in this world, because we are the graduates of WU. We were trained with high international standard, by global-minded faculties which hold the spirit of professionalism and tolerance.

Today, we are all proud to receive our doctorate certificate, a reward for our effort that we will treasure for the rest of our life.
But as a famous saying says: the greatest treasures are not those visible to the eye but found by the heart. Knowledge and happiness are the true treasure for a wise man; indeed, tolerance is the real treasure for humanity.

It is my sincere hope that your next journey will take you to the summit of your hope, to the highest peak of your happiness, to the ultimate blessing for humanity.

Again congratulation, have a pleasant journey, and may God always be with us
Thank you.